Jumat, 21 Oktober 2016



A. Ruang lingkup Ahlus Sunah wal Jama’ah
Islam Ahlus Sunnah wal al-jamaah adalah ajaran sebagai mana diungkapkan oleh Rosulullah SAW dalam:
Rasulullah SAW bersabda :
افترقت اليهودعلى احدى وسبعين فرقة وافترقت النصا رى على اثنتين وسبعين فرقة وان هذه الأمة سـتفـترق على ثلا ث وسبعـين فرقة اثنان وسبعون في النار وواحدة  في الجنة  قا لوا  يا رسول الله ما هذه الواحدة  قال ما انا  عـليه  ا ليوم وا صحا بي

Artinya :    “    Telah pecah ummat Yahudi menjadi 71 golongan, dan telah pecah ummat Nasroni 72 golongan, dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan yang 72 golongan masuk neraka dan hanya 1 (satu) yang masuk surga (yang selamat hanya satu) lalu para sahabat bertanya : siapakah yang selamat itu … ? Nabi menjawab  : apa yang hari ini aku kerjakan dan para sahabatku.”
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah aswaja.
Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ) .
Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah. Secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli.
Paham Ahlus Sunnah wal al-jamaah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah, dan ahlak. Ketiganya, merupakan satu kesatuan ajajran yang mencakup seluruh aspek prinsip agama islam. Didasarkan pada manhaj (pola pemiikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah,  empat imam madzhab besar dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali), dan dalam bidang tasawuf menganut manhaj imam al-Ghazali dan imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, serta imam lain yang sejalan dengan syari’ah islam.

1. Konsep Aqidah Asy’ariyah
            Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) diantara kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang pada masa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya saling bersebrangan, kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedangkan kelompok Qadariyah memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah. Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah mutlak dan bagi Qadariyah kekuasaan Allah terbatas.
                Sikap tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya). Menurut  Asy’ariyah, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan konsep kasb tersebut, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia berusaha secara kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidah melupakan bahwa tuhanlah yang menentukan semuanya.
                Sikap tassamuh (toleransi) ditunjukkan oleh Asy’ariyah antara lain ditunjukkan dalalm konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi Mu’atazilah, Tuhan wajib berlaku adil dalam memperlakukan makhluknya, Tuhan wajib mamasukkan orang baik kedalam surge dan memasukkan orang jahat kedalalm neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah . Alasannya, kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan tuhan, padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak,tidak ada yang bisa  membatasi kehendak dan kekuasaan tuhan. Meskipun dalam al-Quran Allah berjanji akan memasukkan orang yang baik kedalam surge dan memasukkan orang yang jahat kedalam neraka, namun tidak berarti kekuasaan Allah terbatasi, segala keputusan tetap dalam kekuasaan Allah.
                Jika dalam faham Mu’tazilah posisi akal di atas wahyu, Asy,ariyah berpendapat wahyu diatas akal. Ia berpendapat meskipun wahyu diatas akal, namun akal tatap diperlukan untuk memahami  wahyu, jika akal tidak mampu memahami wahyu, maka akal harus tunduk dan mengikuti wahyu. Karena kemampuan akal terbatas, maka tidak semua yang terdapat dalam wahyu dapat dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan sesuai dengan pendapat akal. Dengan demikian, bagi Asy’ariyah rasionalitas tidak ditolak. Kerja- kerja rasional dihormati sebagai penerjemah dan penafsiran wahyudalam kerangka untuk menentukan langkah-langkah ke dalam  pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni bagaimana pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah pengejawantahan dari pesan al-Quranbahwa risalah islam adalah rahmatan lil al-‘alamin,namun agar aspek-aspek rasionalitas itu tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus mengembalikan seluruh kerja rasio dibawah control wahyu.
                Masalah adanya sifat Allah, Mu’tazilah hanya mengikuti sifat wujug saja Allah. Sementara ASy,ariyah berpendapat bahwa allah memiliki sifat . Walaupun sifat tidak sama dengan dzat-nya, tetapi sifat adalah qadim dan azali Allah mengetahui, misalnya, bukan dengan pengetahuannya tetapi  tetapi dengan sifat ilmu-nya. Dalam memahami sifat Allah yang qadimini, Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam, satu missal adlah sifat Allah yang qadim dan azali, karena itu al-Quran sebagai kalam Allah adlah qadim, al-Quran bukan makhluk, jadia ia tidak diciptakan.
2.Konsep Aqidah Maturidiyah
            Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah memiliki keselarasandengan aqidah Asy’ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara memahami agama yang tidak secara ekstrem, sebagai mana dalam kelompok Mu’tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa Asy,ariyah fiqhnya menggunakan mazhab imam Syafi’I dan imam Maliki, sedangkan Maturidiyah menggunakan imam Hanafi. Asy’ariyah berhadapan langsung dengan kelompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi kelompok yang cukup banyak. Diantaranya kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah dan Jahmiyah, juga kelompok agama lain seperti Yahudi, mausi, dan Nasrani.
            Sikap tawasuth yang ditunjukkan oleh Maturidiyah adalah upaya perdamain antar al-naqli dan al-aqli (nash dan akal).Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kesalahan apabila kita berhenti berbuatpada saat tidak terdapat nash (naql), sama juga salah apababila larut tidak terkendali dalam menggunakan rasio (aql). Menggunakan aql sama pentingnya menggunakan naql. Sebab akal yang dimiliki manusia juga berasal dari Allah, oleh karena itu dalam al-Quran Allah memerintahkan umat islam untuk menggunakan akal dan memahami memahami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang ada di alam raya.
            Yang sedikit membedakan dengan Asy’ariyah adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu. Menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh oleh akal. Tetapi jika terjadi perbedaan wahyu dan akal , maka akal harus berpera mentakwilkannya, contoh seperti lafal yadullah yang arti aslinya “tangan Allah” ditakwilkan menjadi “kekuasaan Allah”.
            Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan Asy’ariyah sama-sama menerimanya. Namun sifat-sifat itu bukan suatu yang berada di luar zat-nya. Sifat tidak sama dengan zat,tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya, Tuhan maha mengetahui bukanlah dengan zat-nya, tetapi dengan pengetahuan (ilmu)-nya.
            Dalam persoalan kekuasaan dan kehendak (qudrah dan iradah)Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan itu sendiri, jadi tidak mutlak. Meskipun demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang dikekendaki-nya. Missal Allah menjanjikan orang baik masuk surge dan orang jahat masuk neraka, maka allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi dalam hal ini, manusia diberi kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, itulah keadilan tuhan. Meskipun manusia diberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, tetapi menurut Maturidiyah perbuatan itu diciptakan oleh Tuhan, sehingga perbuatan manusia sabagai perbuatan bersama antara manusia dan tuhan. Dengan begitu manusia yang dikehendaki adalah manusia yang selalu kreatif, tetapi kreatif itu tidak menjadikkan manusia sombong karena merasa mampu menciptakan dan mewujudkan tetapi manusia yang kreatif dan pandai bersyukur, karena kemampuannya menciptakan sesuatu tetap dalam ciptaan Allah.
3.Syariah Aswaja
            Al-Quran dan al-Hadits diturunkan secar berangsur-angsur tidak sekaligus. Disampaikan kepada manusia kebutuhan, kepentingan, dan situai serta kondisi yang berbeda-beda. Ajaran islam yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits disampaikan di Makkah, madina dan sekitarnya lebih lima nelas abad lalu dengan cara disebarluaskan dan diwariskan kepada manusia dengan segala persamaan dan perbedaannya untuk spanjang zaman dengan segala perubahan dan perkembangannya. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, umat manusia menerima ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan. Setelah Rasulullah SAW wafat, parasahabat termasuk empat kholifah: Abu bakar, Umar, Ustman, dan ali menyebar luaskan ajaran islam kegenerasi berikutnya. Dengan perkembangan zaman, dengan kondisi manusia yang kian dinamis, banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang muncul itu tidak terdapat jawabannya secara tegas dalam al-Quran dan al-Hadist. Maka untuk mengetahui hokum dan persoalan baru itu maka upaya berijtihad harus dilakukan.
             Sesungguhnya ijtihad sudah dilakukan sahabat ketika Nabi Muhammad masih hidup, yakni ketika sahabat menghadapi persoalan baru tetapi tidak mungkin dapat di tanyakan langsung kepada Rasulullah SAW, seperti pernah dilakukan oleh sahabat muadz bin jabal saat ditugasi mengajarkan islam ke Yaman, dan pada masa-masa sesudah kurun sahabat, kegiatan ijtihad makin banyak dilakukan para Ulama ahli ijtihad (Mujtahid).
            Diantara tokoh yang mampu berijtihad sejak generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, terdapat banyak tokoh yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya mampu berijtihad sendiri tapi juga menciptakan “pola pemahaman (manhaj)” tersendiri terhadap sumber pokok hukum islam , al-Quranbahwa , dan al-Hadist.ini dicerminkan dengan metode ijtihad yang dirumuskan sendiri menggunakan kaidah-kaidah ushuf fiqh, qawa’idul ahkam, qawa’idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri. Itu menendakan bahwa secara keilmuan  dan pemahaman keagamaan serta ilmu-ilmu penunjang lainnya telah mereka miliki dan kuasai.
            Pola pemahaman ajaran islam melalui ijtihad para mujtahid, lazim disebut madzhab. Penulisan Indonesia “mazhab”, berarti “jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau “pola pemahaman”. Pola pemahaman dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh umat islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki, mereka lazim disebut bermazhab atau menggunakan mazhab.
            Dengan system bermazhab ini, ajaran islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan, dan diamalkan mudah kepada semua lapisan dan tingkatatan umat islam, dari yang paling awam sampai yang paling alim sekalipun, melalui system ini pula pewarisan dan pengamalan ajaran islam terplihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadist dipahami, ditafsir, dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Walau begitu kualitas bermazhab yang sudah ada harus ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya. Ajakan kembali pada al-Quran dan al-Hadist tentu tidak boleh diartikan memahami kedua sumber hukum tersebut secara bebas (liberal), tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
            Aswaja memiliki prinsip, bahwa hakikat tujuan hidup adalah tercapainya keseimbangan kepentingan dunia-akhirat dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah, dicapai melalui perjalanan spiritual yang bertujuan untuk memperoleh hakekat dan kesempurnaan hidup manusia (insan kamil), namun hakikat yang diperoleh tersebut tidak boleh meninggalkan garis-garis syariat yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Syariat harus merupakan dasar untuk pencapaian hakikat, inilah prinsip yang dipegangi tashawwuf (tasawuf) aswaja.
            Bagi penganut aswaja, al-Quran dan sunnah Rasulullah merupakan rujukan tertinggi, tassawuf yang benar adalah yang dituntun oleh wahyu,al-Quran maupun sunnah (thariqah al-Rasullullah SAW). Para sufi harus selalu memahami dan mehayati pengalaman-pengalaman yang pernah dilalui oleh Nabi Muhammad SAW selama kehidupannya, demikian juga pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteriskan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah kehidupan (suluk) Nabi hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dalam kehidupan pribadi dan sosialnya. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an (kesederhanaan duniawi), yang dilakukan oleh mereka. Demikian juga prilaku mereka dalam bermasyarakat, seperti sopan santun, twadhu’ (andab ashor) dan sebagainya harus slalu diresapi dan di teladani dengan penuh kesengguhan dan kesabaran.
            Secara jamaah, kaum nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam membentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada dapat diterima, kaum aswaja an-nahdliyah menerimah tarikat yang memiliki sanad sampai Nabi Muhammad SAW, sebab beliau pemimpin seluruh prilaku  kehidupan umat Islam. Dari Nabi seorang sufi harus merujuk dan meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW, maka kaum aswaja an-nahdliyah tidak dapat menerima sebagai thariqah mu’tabarah.
            Jalan sufi yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang teguh perintah syariat, oleh karena itu kaum aswaja an-nahdliyahhanya menerima ajaran-ajaran tasawuf yang tidak meninggalkan syariat dan aqidah seperti yang terdapat dalam tasawauf al-Ghazali dan junaid al-baghdadi. Dengan tasawuf al-Ghazali dan junaid al-baghdadi, kaum aswaja an-nahdliyah diharapkan menjadi umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran kenikmatan bertemu dengan tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh umat. Ini pernah ditunjukan oleh para penyebar Islam di Indonesia, wali songo. secara individu, para wali itu memiliki kedekatan hubungan dengan Allah dan pada saat sama mereka selalu membenahi akhlak masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh keihklasan dan ketertundukan.
B.tujuan aswaja
Aswaja sebagai organisasi, golongan atau kelompok yang senantiasa dalam mengikuti sunah Nabi SAW, tidak lepas perananya dalam bidang pendidikan islam di Indonesia,sebagai dasar perjuangan aswaja dalam berbagai aspek demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia terlebih cita-cita Nabi Muhammad SAW.
Khittah aswaja secara internal mempunyai ikhtiyar-ikhtiyar dalam rangka mengembangkan eksistensi Nahdliyin, antara lain: peningkatan kegiatan dibidang keilmuan, pengkajian, dan pendidikan; peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan- kegiata terarah; peningkata silaturrahmi dan peningkatan pelayanan sosial.
Hal ini tentunya selaras dengan tujuan dari pendidikan nasional yang tercantum pada Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yaitu:
Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.
Ditinjau dari konteks historinsnya, aswaja tidak bisa dipisahkan dari sejarah pendidikan di negri ini. Terdapat visi dan misi khusus yang diusung oleh Nabi Muhammad SAW ketika mendapat wahyu pertama di gua hiro yaitu iqro/bacalah. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga pesantren di era bangsa ini belum merdeka lalu berkembang menjadi sistim pendidikan madrasah.
C.Ciri-Ciri Aswaja  
            Ciri utama aswaja adalah sikap tawassuth dan I’tidal (tengah-tengah dan keseimbangan), yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalil, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara Jabaria dan Qodariyah dan sikap moderat dalam menghadapi dunyawiyah. Dalam masalah fiqh sikap pertengahan antara “ijtihad” dan taqlid buta, Yaitu dengan cara bermazhab. Cirri sikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qath’iyyat dan toleran dalam hal zhanniyyat.
            Tawwasuth dalam menyikapi budaya dalam mempertahankan budaya lama yang masih baik dan menerima budaya baru yang lebih baik, dengan sikap ini asawja tidak menolak atau menerima salah satunya.
            Tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:
1.At-tawassuth
atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian.(QS al-Baqarah: 143).
Kedua, at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)
Ketiga, al-i’tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8 )
Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun, bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, juz III hal 206).
Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)
Akidah
Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.
Syari’ah
Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.
Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas (sharih/qotht’i).
Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).
Tasawuf/ Akhlak
Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).
Pergaulan antar golongan
Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
Kehidupan bernegara
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.
Kebudayaan
Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
Kebudayaan yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
Dakwah
Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.


1 komentar:

  1. Kadyo Entertainment - Kadyo Entertainment Online Casino
    Kadyo Entertainment kadangpintar Online Casino, in cooperation with the GAN 바카라 government, provides septcasino you with an unparalleled casino experience. Play online games

    BalasHapus