A. Ruang lingkup Ahlus Sunah wal Jama’ah
Islam
Ahlus Sunnah wal al-jamaah adalah ajaran sebagai mana diungkapkan oleh
Rosulullah SAW dalam:
Rasulullah SAW bersabda :
افترقت اليهودعلى احدى وسبعين فرقة وافترقت النصا رى على اثنتين وسبعين فرقة وان هذه الأمة سـتفـترق على ثلا ث وسبعـين فرقة اثنان وسبعون في النار وواحدة في الجنة قا لوا يا رسول الله ما هذه الواحدة قال ما انا عـليه ا ليوم وا صحا بي
افترقت اليهودعلى احدى وسبعين فرقة وافترقت النصا رى على اثنتين وسبعين فرقة وان هذه الأمة سـتفـترق على ثلا ث وسبعـين فرقة اثنان وسبعون في النار وواحدة في الجنة قا لوا يا رسول الله ما هذه الواحدة قال ما انا عـليه ا ليوم وا صحا بي
Artinya : “ Telah pecah ummat Yahudi menjadi 71 golongan, dan telah pecah ummat Nasroni 72 golongan, dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan yang 72 golongan masuk neraka dan hanya 1 (satu) yang masuk surga (yang selamat hanya satu) lalu para sahabat bertanya : siapakah yang selamat itu … ? Nabi menjawab : apa yang hari ini aku kerjakan dan para sahabatku.”
Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah aswaja.
Definisi Aswaja Secara umum adalah
: satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi
SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan
hakikat ( Tasawwuf dan Akhlaq ) .
Sedangkan definisi Aswaja secara
khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan
keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah. Secara khusus bukan lain adalah
merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan
Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan
para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama
Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan
namanya kulli.
Paham Ahlus Sunnah wal al-jamaah
dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah, dan ahlak. Ketiganya,
merupakan satu kesatuan ajajran yang mencakup seluruh aspek prinsip agama
islam. Didasarkan pada manhaj (pola pemiikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah
dalam bidang aqidah, empat imam madzhab
besar dalam bidang fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali), dan dalam bidang
tasawuf menganut manhaj imam al-Ghazali dan imam Abu al-Qasim al-Junaidi
al-Baghdadi, serta imam lain yang sejalan dengan syari’ah islam.
1.
Konsep Aqidah Asy’ariyah
Aqidah Asy’ariyah merupakan
jalan tengah (tawasuth) diantara kelompok-kelompok keagamaan yang berkembang
pada masa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah yang dikembangkan oleh
Mu’tazilah. Dalam membicarakan perbuatan manusia, keduanya saling bersebrangan,
kelompok Jabariyah berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh
Allah dan manusia tidak memiliki peranan apapun. Sedangkan kelompok Qadariyah
memandang bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas
dari Allah. Dengan begitu, bagi Jabariyah kekuasaan Allah mutlak dan bagi
Qadariyah kekuasaan Allah terbatas.
Sikap
tawasuth ditunjukkan oleh Asy’ariyah dengan konsep al-kasb (upaya).
Menurut Asy’ariyah, perbuatan manusia
diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya. Kasb
memiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Kasb juga
memiliki makna keaktifan dan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dengan konsep kasb tersebut, aqidah Asy’ariyah menjadikan manusia berusaha
secara kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidah melupakan bahwa tuhanlah
yang menentukan semuanya.
Sikap
tassamuh (toleransi) ditunjukkan oleh Asy’ariyah antara lain ditunjukkan dalalm
konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Bagi Mu’atazilah, Tuhan wajib berlaku adil dalam
memperlakukan makhluknya, Tuhan wajib mamasukkan orang baik kedalam surge dan
memasukkan orang jahat kedalalm neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah .
Alasannya, kewajiban berarti telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan tuhan,
padahal Tuhan memiliki kekuasaan mutlak,tidak ada yang bisa membatasi kehendak dan kekuasaan tuhan.
Meskipun dalam al-Quran Allah berjanji akan memasukkan orang yang baik kedalam
surge dan memasukkan orang yang jahat kedalam neraka, namun tidak berarti
kekuasaan Allah terbatasi, segala keputusan tetap dalam kekuasaan Allah.
Jika
dalam faham Mu’tazilah posisi akal di atas wahyu, Asy,ariyah berpendapat wahyu
diatas akal. Ia berpendapat meskipun wahyu diatas akal, namun akal tatap
diperlukan untuk memahami wahyu, jika
akal tidak mampu memahami wahyu, maka akal harus tunduk dan mengikuti wahyu. Karena
kemampuan akal terbatas, maka tidak semua yang terdapat dalam wahyu dapat
dipahami oleh akal dan kemudian dipaksakan sesuai dengan pendapat akal. Dengan
demikian, bagi Asy’ariyah rasionalitas tidak ditolak. Kerja- kerja rasional
dihormati sebagai penerjemah dan penafsiran wahyudalam kerangka untuk
menentukan langkah-langkah ke dalam
pelaksanaan sisi kehidupan manusia. Yakni bagaimana pesan-pesan wahyu
dapat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah pengejawantahan dari pesan
al-Quranbahwa risalah islam adalah rahmatan lil al-‘alamin,namun agar
aspek-aspek rasionalitas itu tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus
mengembalikan seluruh kerja rasio dibawah control wahyu.
Masalah
adanya sifat Allah, Mu’tazilah hanya mengikuti sifat wujug saja Allah.
Sementara ASy,ariyah berpendapat bahwa allah memiliki sifat . Walaupun sifat
tidak sama dengan dzat-nya, tetapi sifat adalah qadim dan azali Allah
mengetahui, misalnya, bukan dengan pengetahuannya tetapi tetapi dengan sifat ilmu-nya. Dalam memahami
sifat Allah yang qadimini, Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam, satu missal
adlah sifat Allah yang qadim dan azali, karena itu al-Quran sebagai kalam Allah
adlah qadim, al-Quran bukan makhluk, jadia ia tidak diciptakan.
2.Konsep
Aqidah Maturidiyah
Pada prinsipnya, aqidah Maturidiyah
memiliki keselarasandengan aqidah Asy’ariyah. Itu ditunjukkan oleh cara
memahami agama yang tidak secara ekstrem, sebagai mana dalam kelompok
Mu’tazilah. Yang sedikit membedakan keduanya, bahwa Asy,ariyah fiqhnya
menggunakan mazhab imam Syafi’I dan imam Maliki, sedangkan Maturidiyah
menggunakan imam Hanafi. Asy’ariyah berhadapan langsung dengan kelompok
Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi kelompok yang cukup banyak. Diantaranya
kelompok yang muncul pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah
dan Jahmiyah, juga kelompok agama lain seperti Yahudi, mausi, dan Nasrani.
Sikap tawasuth yang ditunjukkan oleh
Maturidiyah adalah upaya perdamain antar al-naqli dan al-aqli (nash dan akal).Maturidiyah
berpendapat bahwa suatu kesalahan apabila kita berhenti berbuatpada saat tidak
terdapat nash (naql), sama juga salah apababila larut tidak terkendali dalam
menggunakan rasio (aql). Menggunakan aql sama pentingnya menggunakan naql.
Sebab akal yang dimiliki manusia juga berasal dari Allah, oleh karena itu dalam
al-Quran Allah memerintahkan umat islam untuk menggunakan akal dan memahami
memahami tanda-tanda (al-ayat) kekuasaan Allah yang ada di alam raya.
Yang sedikit membedakan dengan
Asy’ariyah adalah pendapat Maturidiyah tentang posisi akal terhadap wahyu.
Menurut Maturidiyah, wahyu harus diterima penuh oleh akal. Tetapi jika terjadi
perbedaan wahyu dan akal , maka akal harus berpera mentakwilkannya, contoh
seperti lafal yadullah yang arti aslinya
“tangan Allah” ditakwilkan menjadi “kekuasaan Allah”.
Tentang sifat Allah, Maturidiyah dan
Asy’ariyah sama-sama menerimanya. Namun sifat-sifat itu bukan suatu yang berada
di luar zat-nya. Sifat tidak sama dengan zat,tetapi tidak dari selain Allah. Misalnya,
Tuhan maha mengetahui bukanlah dengan zat-nya, tetapi dengan pengetahuan
(ilmu)-nya.
Dalam persoalan kekuasaan dan
kehendak (qudrah dan iradah)Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh Tuhan itu sendiri, jadi tidak mutlak.
Meskipun demikian, Tuhan tidak dapat dipaksa atau terpaksa berbuat apa yang
dikekendaki-nya. Missal Allah menjanjikan orang baik masuk surge dan orang
jahat masuk neraka, maka allah akan menepati janji-janji tersebut. Tapi dalam
hal ini, manusia diberi kebebasan oleh Allah menggunakan daya untuk memilih
mana yang baik dan mana yang buruk, itulah keadilan tuhan. Meskipun manusia
diberi kebebasan untuk memilih dalam berbuat, tetapi menurut Maturidiyah
perbuatan itu diciptakan oleh Tuhan, sehingga perbuatan manusia sabagai
perbuatan bersama antara manusia dan tuhan. Dengan begitu manusia yang
dikehendaki adalah manusia yang selalu kreatif, tetapi kreatif itu tidak
menjadikkan manusia sombong karena merasa mampu menciptakan dan mewujudkan tetapi
manusia yang kreatif dan pandai bersyukur, karena kemampuannya menciptakan
sesuatu tetap dalam ciptaan Allah.
3.Syariah
Aswaja
Al-Quran dan al-Hadits diturunkan
secar berangsur-angsur tidak sekaligus. Disampaikan kepada manusia kebutuhan, kepentingan,
dan situai serta kondisi yang berbeda-beda. Ajaran islam yang terkandung dalam
al-Quran dan al-Hadits disampaikan di Makkah, madina dan sekitarnya lebih lima
nelas abad lalu dengan cara disebarluaskan dan diwariskan kepada manusia dengan
segala persamaan dan perbedaannya untuk spanjang zaman dengan segala perubahan
dan perkembangannya. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, umat manusia menerima
ajaran langsung dari beliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau
menyampaikan. Setelah Rasulullah SAW wafat, parasahabat termasuk empat
kholifah: Abu bakar, Umar, Ustman, dan ali menyebar luaskan ajaran islam
kegenerasi berikutnya. Dengan perkembangan zaman, dengan kondisi manusia yang
kian dinamis, banyak persoalan baru yang dihadapi umat. Seringkali hal yang
muncul itu tidak terdapat jawabannya secara tegas dalam al-Quran dan al-Hadist.
Maka untuk mengetahui hokum dan persoalan baru itu maka upaya berijtihad harus
dilakukan.
Sesungguhnya ijtihad sudah dilakukan sahabat
ketika Nabi Muhammad masih hidup, yakni ketika sahabat menghadapi persoalan
baru tetapi tidak mungkin dapat di tanyakan langsung kepada Rasulullah SAW,
seperti pernah dilakukan oleh sahabat muadz bin jabal saat ditugasi mengajarkan
islam ke Yaman, dan pada masa-masa sesudah kurun sahabat, kegiatan ijtihad
makin banyak dilakukan para Ulama ahli ijtihad (Mujtahid).
Diantara tokoh yang mampu berijtihad
sejak generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, terdapat banyak tokoh
yang ijtihadnya kuat (disebut mujtahid mustaqil). Bukan hanya mampu berijtihad
sendiri tapi juga menciptakan “pola pemahaman (manhaj)” tersendiri terhadap
sumber pokok hukum islam , al-Quranbahwa , dan al-Hadist.ini dicerminkan dengan
metode ijtihad yang dirumuskan sendiri menggunakan kaidah-kaidah ushuf fiqh,
qawa’idul ahkam, qawa’idul fiqhiyyah dan sebagainya. Proses dan prosedur
ijtihad yang mereka hasilkan dilakukan sendiri. Itu menendakan bahwa secara
keilmuan dan pemahaman keagamaan serta
ilmu-ilmu penunjang lainnya telah mereka miliki dan kuasai.
Pola pemahaman ajaran islam melalui
ijtihad para mujtahid, lazim disebut madzhab. Penulisan Indonesia “mazhab”,
berarti “jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau “pola pemahaman”. Pola
pemahaman dengan metode, prosedur, dan produk ijtihad itu juga diikuti oleh
umat islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keterbatasan ilmu dan
syarat-syarat yang dimiliki, mereka lazim disebut bermazhab atau menggunakan
mazhab.
Dengan system bermazhab ini, ajaran
islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan, dan diamalkan mudah kepada
semua lapisan dan tingkatatan umat islam, dari yang paling awam sampai yang
paling alim sekalipun, melalui system ini pula pewarisan dan pengamalan ajaran
islam terplihara kelurusan dan terjamin kemurniannya. Itu karena ajaran yang
terkandung dalam al-Quran dan al-Hadist dipahami, ditafsir, dan diamalkan
dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya. Walau begitu kualitas bermazhab yang sudah ada harus
ditingkatkan, yaitu dengan peningkatan kemampuan dan penguasaan ilmu agama
islam dengan segala jenis dan cabang-cabangnya. Ajakan kembali pada al-Quran
dan al-Hadist tentu tidak boleh diartikan memahami kedua sumber hukum tersebut
secara bebas (liberal), tanpa metode dan prosedur serta syarat-syarat yang
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Aswaja memiliki prinsip, bahwa
hakikat tujuan hidup adalah tercapainya keseimbangan kepentingan dunia-akhirat
dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri
kepada Allah, dicapai melalui perjalanan spiritual yang bertujuan untuk
memperoleh hakekat dan kesempurnaan hidup manusia (insan kamil), namun hakikat
yang diperoleh tersebut tidak boleh meninggalkan garis-garis syariat yang telah
ditentukan oleh Allah dalam al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Syariat harus
merupakan dasar untuk pencapaian hakikat, inilah prinsip yang dipegangi tashawwuf
(tasawuf) aswaja.
Bagi penganut aswaja, al-Quran dan
sunnah Rasulullah merupakan rujukan tertinggi, tassawuf yang benar adalah yang
dituntun oleh wahyu,al-Quran maupun sunnah (thariqah al-Rasullullah SAW). Para
sufi harus selalu memahami dan mehayati pengalaman-pengalaman yang pernah
dilalui oleh Nabi Muhammad SAW selama kehidupannya, demikian juga
pengalaman-pengalaman para sahabat yang kemudian diteriskan oleh tabi’in,
tabi’ut tabi’in sampai pada para ulama sufi hingga sekarang. Memahami sejarah
kehidupan (suluk) Nabi hingga para ulama waliyullah itu, dapat dilihat dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya. Kehidupan individu artinya, ke-zuhud-an
(kesederhanaan duniawi), yang dilakukan oleh mereka. Demikian juga prilaku
mereka dalam bermasyarakat, seperti sopan santun, twadhu’ (andab ashor) dan
sebagainya harus slalu diresapi dan di teladani dengan penuh kesengguhan dan
kesabaran.
Secara jamaah, kaum nahdliyin dapat
memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang
sufi tertentu dalam membentuk thariqah (tarikat). Tidak semua tarikat yang ada
dapat diterima, kaum aswaja an-nahdliyah menerimah tarikat yang memiliki sanad
sampai Nabi Muhammad SAW, sebab beliau pemimpin seluruh prilaku kehidupan umat Islam. Dari Nabi seorang sufi
harus merujuk dan meneladani. Apabila ada tarikat yang sanadnya tidak sampai
kepada Nabi Muhammad SAW, maka kaum aswaja an-nahdliyah tidak dapat menerima
sebagai thariqah mu’tabarah.
Jalan sufi yang telah di contohkan
oleh Nabi Muhammad SAW dan para pewarisnya adalah jalan yang tetap memegang
teguh perintah syariat, oleh karena itu kaum aswaja an-nahdliyahhanya menerima
ajaran-ajaran tasawuf yang tidak meninggalkan syariat dan aqidah seperti yang
terdapat dalam tasawauf al-Ghazali dan junaid al-baghdadi. Dengan tasawuf
al-Ghazali dan junaid al-baghdadi, kaum aswaja an-nahdliyah diharapkan menjadi
umat yang selalu dinamis dan dapat menyandingkan antara tawaran-tawaran
kenikmatan bertemu dengan tuhan dan sekaligus dapat menyelesaikan persoalan
yang dihadapi oleh umat. Ini pernah ditunjukan oleh para penyebar Islam di
Indonesia, wali songo. secara individu, para wali itu memiliki kedekatan
hubungan dengan Allah dan pada saat sama mereka selalu membenahi akhlak
masyarakat dengan penuh kebijaksanaan. Dan akhirnya ajaran Islam dapat diterima
oleh seluruh lapisan masyarakat dengan penuh keihklasan dan ketertundukan.
B.tujuan
aswaja
Aswaja sebagai organisasi,
golongan atau kelompok yang senantiasa dalam mengikuti sunah Nabi SAW, tidak
lepas perananya dalam bidang pendidikan islam di Indonesia,sebagai dasar
perjuangan aswaja dalam berbagai aspek demi terwujudnya masyarakat adil dan
makmur yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia terlebih cita-cita
Nabi Muhammad SAW.
Khittah aswaja
secara internal mempunyai ikhtiyar-ikhtiyar dalam rangka mengembangkan
eksistensi Nahdliyin, antara lain: peningkatan kegiatan dibidang keilmuan,
pengkajian, dan pendidikan; peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat
melalui kegiatan- kegiata terarah; peningkata silaturrahmi dan peningkatan
pelayanan sosial.
Hal ini tentunya selaras dengan
tujuan dari pendidikan nasional yang tercantum pada Undang-Undang No.20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yaitu:
Pendidikan Nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.
Ditinjau dari
konteks historinsnya, aswaja tidak bisa dipisahkan dari sejarah pendidikan di
negri ini. Terdapat visi dan misi khusus yang diusung oleh Nabi Muhammad SAW
ketika mendapat wahyu pertama di gua hiro yaitu iqro/bacalah. Hal ini
dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga pesantren di era bangsa ini belum
merdeka lalu berkembang menjadi sistim pendidikan madrasah.
C.Ciri-Ciri
Aswaja
Ciri utama aswaja adalah sikap
tawassuth dan I’tidal (tengah-tengah dan keseimbangan), yakni selalu seimbang
dalam menggunakan dalil, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara Jabaria dan
Qodariyah dan sikap moderat dalam menghadapi dunyawiyah. Dalam masalah fiqh
sikap pertengahan antara “ijtihad” dan taqlid buta, Yaitu dengan cara bermazhab.
Cirri sikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qath’iyyat dan toleran dalam
hal zhanniyyat.
Tawwasuth dalam menyikapi budaya
dalam mempertahankan budaya lama yang masih baik dan menerima budaya baru yang
lebih baik, dengan sikap ini asawja tidak menolak atau menerima salah satunya.
Tiga ciri utama ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya:
1.At-tawassuth
atau
sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
Ini disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan
demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan)
manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) kamu sekalian.(QS al-Baqarah: 143).
Kedua, at-tawazun
atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil
yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari
Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
لَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ
وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sunguh
kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata
dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)
Ketiga, al-i’tidal
atau tegak lurus. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ
أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak
membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil.
Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak
adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS al-Maidah: 8 )
Selain
ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama’ah juga mengamalkan sikap
tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang
memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun, bukan berarti mengakui atau
membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.
Firman Allah SWT:
فَقُولَا
لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka
berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun)
dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS.
Thaha: 44)
Ayat
ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS
agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774
H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah
Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun adalah menggunakan perkataan yang
penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih
menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’anil
‘Azhim, juz III hal 206).
Dalam
tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip
ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah
Nahdliyah, hal 40-44)
Akidah
Keseimbangan
dalam penggunaan dalil ‘aqli dan dalil naqli.
Memurnikan
akidah dari pengaruh luar Islam.
Tidak
gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid’ah apalagi kafir.
Syari’ah
Berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Akal
baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang jelas
(sharih/qotht’i).
Dapat
menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang
multi-interpretatif (zhanni).
Tasawuf/
Akhlak
Tidak
mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam,
selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum Islam.
Mencegah
sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
Berpedoman
kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut
dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu’ (antara sombong dan rendah diri) dan
sikap dermawan (antara kikir dan boros).
Pergaulan
antar golongan
Mengakui
watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur
pengikatnya masing-masing.
Mengembangkan
toleransi kepada kelompok yang berbeda.
Pergaulan
antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
Bersikap
tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
Kehidupan
bernegara
NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan
kesepakatan seluruh komponen bangsa.
Selalu
taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak
bertentangan dengan ajaran agama.
Tidak
melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
Kalau
terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang
baik.
Kebudayaan
Kebudayaan
harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma
dan hukum agama.
Kebudayaan
yang baik dan tidak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun
datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
Dapat
menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan
(al-muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
Dakwah
Berdakwah
bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak
masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
Berdakwah
dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
Dakwah
dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan
dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.
Kadyo Entertainment - Kadyo Entertainment Online Casino
BalasHapusKadyo Entertainment kadangpintar Online Casino, in cooperation with the GAN 바카라 government, provides septcasino you with an unparalleled casino experience. Play online games